Banjir di Jakarta dalam perspektif etika lingkungan

Diposting pada: 2013-04-22, oleh : SMK NEGERI 7 BANDUNG, Kategori: Artikel Karya Guru dan Siswa

Oleh : Lilis Setiasih (guru Biologi / PLH SMKN 7 Bandung)

Banjir di Jakarta

            Tanggal 25 Oktober 2010  di Jakarta hujan yang turun hanya selama   tiga jam telah menyebabkan  banjir setinggi tigapuluh  sentimeter sampai satu setengah  meter  sebanyak  36 titik banjir membuat lalu lintas di jalan utama “lumpuh “sehingga   Jakarta dilanda kemacetan yang sangat parah .  Lalu lintas bukan hanya terhambat tetapi terhenti  beberapa jam.  Bagaimana kalau hujan turun lebih dari tiga jam ?

Sebagai ibu kota negara, Jakarta memang  sarat dengan berbagai persoalan. Salah satu persoalan yang dari dulu sampai sekarang belum tertangani dengan baik adalah masalah banjir. Hampir setiap tahun, terutama di musim penghujan pada periode Oktober – Februari, warga Jakarta tidak pernah merasa tenang. Banjir selalu mengancam mereka  Bencana ini selalu datang meskipun tidak pernah diundang. Bagi masyarakat yang tinggal di pinggir sungai-sungai yang membelah Jakarta, masalah banjir  ini sudah menjadi agenda rutin di musim penghujan. Dan kini banjir melanda wilayah lebih luas memasuki jalan jalan utama .

            Dalam catatan  sejarah  , Jakarta yang waktu itu masih bernama Batavia, saat pertama kali dibangun, memiliki sebuah sistem kanal segi empat, yang sangat menyerupai tata letak Amsterdam di Belanda. Tapi, sistem ini ternyata menimbulkan persoalan baru. Selain kapasitasnya yang terbatas menyebabkan keberadaan sistem kanal ini gagal menjadi sarana pengendali banjir, kondisi kanal yang tak higienis juga berakibat munculnya berbagai sumber penyakit.

            Berbagai infrastruktur yang diwariskan oleh pemerintah kolonial tersebut bukan saja terbukti tidak mampu menangkal banjir di Jakarta masa kini, pada saat itu pun sebetulnya keberadaan berbagai infrastruktur berupa kanal-kanal tersebut tidak mampu menghalangi ancaman banjir di Batavia.Menurut Restu Gunawan, Sejarawan yang menulis disertasi tentang sejarah banjir di Jakarta , sistem kanal dalam fungsinya sebagai infrastruktur pengendali banjir di Jakarta, dari dulu hingga sekarang, adalah salah satu contoh sistem penataan kota yang gagal.

            Tahun 1621 adalah pertama kali dalam sejarah Hindia Belanda, di mana pos pertahanan utama VOC di Asia Timur itu dilanda banjir besar. Di luar banjir-banjir kecil yang hampir tiap tahun terjadi di daerah pinggiran kota, tahun 1654, 1872, 1909, dan 1918 (ketika wilayah Jakarta sudah semakin melebar hingga ke Glodok, Pejambon, Kali Besar, Gunung Sari, dan Kampung Tambora) banjir besar kembali datang menerjang Jakarta.

            Banjir yang melanda Jakarta pada Februari 1918 tercatat paling besar dalam sejarah banjir di pusat pemerintahan Hindia Belanda ini. Koran Sin Po edisi 19 Februari 1918 mencatat, hampir seluruh Jakarta digenangi air. Di kawasan seperti Tanah Tinggi, Pinangsia, Glodok, Straat Belandongan, Tambora, Grogol, Petaksinkian, Kali Besar Oost, rata-rata ketinggian air hingga sedada orang dewasa. Begitu pun di Angke, Pekojan, Kebun Jeruk, Kapuran, Kampung Jacatra atau Kampung Pecah Kulir di samping Kali Gunung Sari, serta Pejambon, air juga merendam rumah- rumah penduduk "boemipoetera". Pasar Baru, Gereja Katedral, dan daerah sebelah barat Molenvliet (sekitar Monas sekarang) dijadikan tempat pengungsian.

            Tahun-tahun setelah itu, bahkan setelah pemerintah Hindia Belanda selesai membangun saluran air yang di kemudian hari dikenal dengan sebutan Banjir Kanal Barat, dari kliping-kliping koran atau majalah pada masa itu terlihat bahwa hampir tiap tahun Jakarta kebanjiran. Satu situasi yang sebelumnya diakui Van Breen, seorang  perancang sistem kanal saat itu  bahwa kehadiran fasilitas pengendali banjir tersebut memang tidak sepenuhnya menjamin Jakarta terbebas dari banjir.

            Van Breen mengakui apabila hanya mengandalkan Banjir Kanal Barat dan Pintu Air Manggarai, yang terjadi adalah pengalihan wilayah banjir. Jika sebelumnya banjir melanda kawasan Weltevreden dan Menteng, dengan adanya kanal dan pintu air tadi, air lalu mengalir ke tempat yang lebih rendah sehingga banjir pun berpindah ke daerah Manggarai dan Jatinegara. 
Keberadaan Banjir Kanal Barat yang ada sekarang dan pintu air utama di Manggarai hanya "bagian kecil" dari keseluruhan sistem yang dirancang.  Menurut  Van Breen , kanal yang ada itu idealnya diteruskan lagi ke arah barat kemudian membujur ke utara sehingga benar-benar bisa melindungi Batavia dari ancaman banjir dari selatan

            Menurut Restu selain itu, Van Breen juga merancang adanya terusan di ’lingkar luar’ Banjir Kanal Barat, yang sekarang mungkin melingkari hingga kawasan Pasar Minggu. Tetapi, gagasan ini tidak jalan. Adapun pemikiran Van Breen terkait pembuatan terusan di timur baru digaungkan kembali tahun 1970-an dan sekarang baru akan direalisasikan. Sistem kanal hanya sebagian dari gagasan Van Breen gagasan lainnya yaitu  perlunya sistem polder. Kawasan rawa di sepanjang pantai utara Jakarta mesti dikelilingi tanggul, kemudian airnya dipompa ke luar melalui parit-parit sampai kering. Ini pun tidak terwujud.

            Terlepas dari itu semua, dilihat dari perspektif sejarah, tampaknya banjir sudah menjadi bagian tak terpisahkan dari Jakarta. Ketika Jakarta masih bernama Batavia, ketika jumlah penduduknya masih dalam hitungan ratusan ribu jiwa, dan ketika ruang-ruang terbuka masih terhampar luas sementara di kawasan puncak kondisi lahan relatif masih penuh hutan yang hijau, banjir juga menjadi peristiwa rutin.

             Menghadapi banjir sikap pasrah  ditunjukkkan warga Jakarta. Gubernur Fauzi Bowopun tampaknya juga sudah pasrah. Saat berpidato mengatakan bahwa Jakarta belum dapat bebas banjir sepenuhnya. Gubernur beralasan, sekitar 40 persen wilayah Jakarta berada di bawah permukaan laut pasang.Wilayah Jakarta yang dilintasi 13 sungai besar dan semuanya bermuara di pantai Utara kota Jakarta, menurut Fauzi membuat ibukota ini tidak dapat terbebas dari banjir. Karena itu, upaya penanggulangan banjir hanya bisa difokuskan pada dua hal yaitu mengurangi luapan dan genangan banjir.

            Berbagai program penanggulangan banjir memang telah dilakukan, mulai dari pengerukan sungai, pembersihan dan perbaikan drainase, hingga megaproyek banjir kanal timur (BKT). Proyek BKT sepanjang 23 km yang membentang dari kali Cipinang ke laut Jawa dengan lebar antara 100-300 meter, bukanlah proyek murah. Dalam APBN 2011 saja, pemerintah sudah menganggarkan dana sebesar Rp500 miliar untuk menyelesaikan proyek, yang menurut target selesai akhir 2011 nanti.

            Beberapa masalah yang  perlu dikaji  dalam upaya penanggulangan banjir. Pertama, rusaknya sejumlah sungai utama di Jakarta akibat berubahnya fungsi bantaran kali menjadi kawasan permukiman. Menurut Data Dirjen Cipta Karya Kementerian Pekerjaan Umum, ada sedikitnya 70.000 keluarga tinggal di bantaran Kali Ciliwung. Masyarakat yang tinggal di bantaran sungai ini perlu segera  direlokasi, agar fungsi kali Ciliwung dan sungai-sungai lainnya sebagai resapan dan pembuangan air kembali seperti semula.

Kedua, pengelolaan sampah di DKI Jakarta yang jumlahnya lebih dari 600.000 ton setiap harinya. Penyumbang sampah terbesar adalah rumah tangga yang mencapai lebih dari 52,97 persen. Banyaknya sampah di sungai menjadi salah satu penyebab banjir. Pemerintah DKI Jakarta harus mengangkat setidaknya 600 m3 sampah sungai setiap kali banjir datang.

Ketiga, kurangnya daerah resapan. Tingginya aktifitas pembangunan gedung perkantoran, mall dan perumahan telah mereduksi jumlah luas daerah resapan air di Jakarta. Penelitian Neraca Keseimbangan Lingkungan Hidup Daerah 2006 lalu menunjukkan, Jakarta yang luasnya mencapai 661,62 km2, sekitar 609,61 km2 atau 91,99 persen diantaranya sudah terbangun. Artinya kurang dari 10 persen saja yang menjadi daerah resapan atau ruang terbuka hijau (RTH). Akibatnya jelas, setiap musim hujan air tak tertampung dan membanjiri sebagian besar wilayah Jakarta..

Masyarakat Jakarta dan Etika Lingkungan

Bila dicermati  ketiga masalah tersebut diatas  sesungguhnya bukan hanya sekedar pembangunan infrastruktur untuk mengatasi banjir juga  terkait dengan  permasalahan perilaku warganya yang  dapat  menimbulkan masalah lingkungan. Perilaku masyarakat Jakarta dari gambaran masalah diatas adalah :

a. sikap tidak peduli lingkungan hal ini ditunjukkan dengan pengelolaaan sampah yang buruk ,sekedar memindahkan sampah dari rumahnya ketempat penampungan sampah atau cara tercepat membuangnya ke sungai ,bandingkan dengan negara terdekat kita ,  Singapura yang dengan konsep Eco City “ mendaur ulang seluruh material sampah  dan memetabolismenya dalam sistem ekologis . Singapura amat didukung oleh sikap warganya yang patuh memilah dan memilih sampah  dan Jakarta nampaknya punya warga yang tidak patuh serta tidak peduli seringkali  bertindak hanya pada level pribadi  “semau gue”.

b. Perilaku tamak dan rakus , dengan dalih  pembangunan Jakarta  berkonsep  Megapolitan agar mampu mensejajarkan diri dengan kota kota lain didunia , para pengembang dan para perencana kota melahap begitu saja lahan lahan yang semula peruntukkannya untuk Ruang Hijau dan Terbuka serta untuk resapan air. Meski mereka berdalih membuat hunian bernuansa alami dengan sejuta pesona bunga atau hutan kota toh tetap mengurangi wilayah yang diperuntukkan sebagai area konservasi air .

c. Perilaku menghalalkan segala cara dalam artian karena tekanan dan himpitan ekonomi serta kompetisi yang cepat dalam meraih semua peluang  maka masyarakat Jakarta punya dalih “ terpaksa “ mereka membangun gubuk gubuk liar  ataupun bangunan permanen  disekitar bantaran sungai.Sesungguhnya mereka tahu konsekuensinya tapi karena  dalih keterpaksaan maka dilakukan juga .

d. Perilaku arogan , wacana relokasi warga dari sekitar bantaran sungai akan memacu perlawanan dan bahkan perilaku anarkis lainnya terhadap upaya penertiban . Warga akan bertahan dengan segala alasan mulai dari ganti rugi   , alasan ekonomi , sosial  ataupun jargon yang naïf sekalipun akan dilakukan misalnya  “ bersahabat dengan banjir” .

e. Sikap Skeptis , terlalu lama berada dalam pusaran masalah banjir yang berulang tiap tahun membuat warga bersikap pasrah , “habis mau begimane lagi

Jadi yang perlu dibenahi bukan hanya sekedar infra struktur saja tetapi bagaimana cara pandang masyarakat Jakarta terhadap lingkungannya . masalah banjir menjadi  masalah moral yang penyelesaiannya harus  dilandasi etik moral dalam hal ini etika lingkungan .

Masyarakat Jakarta umumnya sudah mengetahui betapa pentingnya  menjaga lingkungannya tetapi masih saja terjadi kerusakan atau masalah terkait penurunan kualitas lingkungan . Mengapa ? Apakah  masyarakat sudah melupakan hal-hal ini atau sudah kehilangan rasa cinta pada lingkungannya , pada  alam? Bagaimanakah sesungguhnya masyarakat memahami lingkungan dan bagaimana cara menggunakannya? Perhatian pada isu lingkungan ini juga memunculkan pertanyaan tentang bagaimana keterkaitan dan hubungan dengan generasi yang akan datang.. Bagaimana situasi alam atau lingkungan di masa yang akan datang? Meskipun tidak akan pernah diketahui secara  pasti wujud lingkungan  masa depan oleh masyarakat saat ini  . Karenanya ada teori etika lingkungan yang secara khusus memberi bobot pertimbangan pada kepentingan generasi mendatang dalam membahas isu lingkungan ini. Para penganut utilitirianisme, secara khusus, memandang generasi yang akan datang dipengaruhi oleh apa yang dilakukan sekarang. Apapun yang dilakukan pada Lingkungan  akan mempengaruhi generasi mendatang . Pernyataan ini turut memunculkan beberapa pandangan tentang etika lingkungan dengan kekhususannya dalam pendekatannya terhadap alam dan lingkungan.

Salah satu pendekatan terhadap lingkungan yang menekankan bahwa lingkungan sebagai sarana untuk kepentingan manusia, yang bersifat antroposentris merupakan etika ekologi dangkal ini biasanya diterapkan pada filsafat rasionalisme dan humanisme serta ilmu pengetahuan mekanistik yang kemudian diikuti dan dianut oleh banyak ahli lingkungan. Kebanyakan para ahli lingkungan ini memiliki pandangan bahwa alam bertujuan untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia.

Etika ini dapat digolongkan menjadi dua yaitu etika antroposentris yang menekankan segi estetika dari alam dan etika antroposentris yang mengutamakan kepentingan generasi penerus. Etika ekologi dangkal yang berkaitan dengan kepentingan estetika didukung oleh dua tokohnya yaitu Eugene Hargrove dan Mark Sagoff. Menurut mereka etika lingkungan harus dicari pada aneka kepentingan manusia, secara khusus kepentingan estetika. Sedangkan etika antroposentris yang mementingkan kesejahteraan generasi penerus mendasarkan pada perlindungan atau konservasi alam yang ditujukan untuk generasi penerus manusia atau keberlanjutannya  .

Masyarakat Jakarta punya pilihan  apakah akan memasukkan etika lingkungan dalam memahami perilakunya terhadap lingkungan bahkan lebih jauh memasukkan   unsur lingkungan pada  ekonomi dimana lingkungan merupakan suatu ekosistem yang terdiri dari kesatuan sistem antara mahluk hidup , hewan , tumbuhan dan manusia serta faktor abiotik sehingga dalam perilaku ekonominya mengambil dari lingkungan sambil memelihara lingkungan akan tercipta suatu istilah yang dikemukakan callicot  “ecosystem health “ .

Hal sederhana apa saja yang harus dilakukan masyarakat Jakarta dalam mengembangkan perilaku agar memenuhi etika lingkungan  ? . Berikut ini beberapa solusi yag ditawarkan :

1.Membuang sampah pada tempatnya  dengan terlebih dahulu memilih  dan memilah sampah . Tempat sampah perlu disediakan di tiap titik dari seluruh bagian kota yang perlu di dukung dan diawasi bersama seluruh masyarakat .

2. Mengurangi sampah , terutama untuk masyarakat yang tergolong kaya karena dari catatan ditemukan sampah sampah tersebut lebih banyak berasal dari dari sampah orang kaya .Orang kaya perlu menahan diri dari perilaku memborong dan berbelanja besar besaran. Pengenaan pajak untuk orang kaya dengan kepemilikan barang barang tertentu nampaknya perlu dilakukan untuk meredam ketamakan dan kerakusan . 

  1. 3.Perlu lebih banyak di kembangkan solidaritas dan gotong royong seperti yang dilakukan warga banjarsari  di kecamatan Cilandak barat  Jakarta selatan yang  mengorganisasi serta mendaur ulang sampah dengan baik serta membuat sumur resapan ditiap rumah . Slogan 4 R , Reduce  (mengurangi sampah ) ,Reuse  (menggunakan kembali ), Recycle (mendaur ulang )  dan Replant (penanaman kembali)   diterapkan  pada seluruh komunitas warga Banjar sari  bahkan kini kawasan ini menjadi kawasan wisata agro dari  bisnis tanaman hias , obat  sekaligus memperkenalkan konsep penataan kampung yang bersih,  sehat , nyaman , indah  serta berwawasan ekologis 

4. Bila hanya membebani lingkungan Jakarta dengan hidup di bantaran sungai , kolong jembatan lebih baik pulang kampung , membangun desanya sendiri lebih mulia dan terhormat . Pemerintah perlu membuat kajian etik tersendiri untuk mengubah paradigma pendatang ke Jakarta .

 

Kesimpulan

Agar banjir tidak selalu berulang tiap tahun maka masyarakat Jakarta perlu mengubah cara pandang tehadap lingkungannya melalui pemahaman antroposentris yang baru dengan menekankan keberlanjutan agar apa yang dilakukan hari ini dapat dinikmati oleh generasi mendatang sebagai warisan yang sesungguhnya dari para leluhurnya .

Beberapa contoh penataan serta pengelolaan lingkungan  yang hidup dalam masyarakat Jakarta perlu dikembangkan lebih lanjut dalam skala luas .

 

 

Daftar Pustaka

 

 Hargrove, Eugene C, (1989)  Foundation of Environmental Ethics,  Prentice Hall, New Jersey,

 Sony Keraf,  Lingkugan Hidup, Melihat Dimensi Etisnya dalam Kompas, 6 Desember 1982

Callicot  , J Baird  (1999) : Beyond the land ethic , more essay in environmental philosophy  , State university of New York press , New York

Barus ,kormensius , (2010) : Banjarsari, Pemukiman Hijau di Tengah Kota tersedia dalam  http://www.businessreview.co.id

Prayogi , Djoko  (2010): Sejarah banjir di Jakarta tersedia dalam http://www.iwanfals.co.id


Berita Lainnya